CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG BAHENOL

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG BAHENOL


CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG BAHENOL, Hasrat-Bispak35 Seluruh orang didalamnya harus berusaha serta berkorban agar tak tersisih, serta tidak seluruhnya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita cerita hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang kenal nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun berarti tidak sekedar itu. Denok pula bermakna montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Waktu kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliau sendiri waktu muda merupakan orang penari, dan kerapkali ditanggap bila ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti waktu satu hari saya serta Simbok menemukan Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak mempunyai banyak hutang dikarenakan edan judi, serta beliau tak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang bersedih lantaran Bapak telah tak ada, dan juga kebingungan lantaran beberapa waktu sehabis Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah karena rumah kami diambil alih broker judi yang memberikan hutang pada Bapak. Kami gak punyai tujuan, serta uang simpanan kami tidak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat coba mencari uang, moga-moga di situ mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima sebab dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak penting ijazah, lawan sangat banyak. Selanjutnya sesudah cukuplah lama menyimak bermacam peluang yang ada, Simbok memutus untuk manfaatkan ketrampilan kami. Dengan modal baju serta peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi bersiap ujian akhir SMA atau menjalankan tahun awalan kuliah, serta yang di kampung menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan anyar, menawarkan ketrampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sekedar cari keramaian di mana kami dapat mendapatkan sekian lembar rupiah untuk bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengevaluasi jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya tidak mudah  cari uang lewat cara seperti berikut, paling-paling yang kami peroleh hanya buat makan kami berdua, satu atau 2x dalam hari itu. Serta tidak di seluruh tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang mau bayar, terkadang kami justru ditendang atau dihardik. Sesudah lumayan lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar sewa murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, dari golongan menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membuat mereka ingat daerah masing-masing. Hadirnya kami dari sana selalu disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Walau kerapkali helai-lembar itu diserahkan kepada kami oleh kurang santun umpamanya dengan diumpetkan ke busana kami. Apa saya serta Simbok betul-betul menarik? Entahlah ya. Saya sendiri tak berasa elok. Jadi anak petani yang kerap main di luar mulai sejak kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok  sejak dahulu selalu mengajarkan dan mengingati saya untuk menjaga badan walaupun melalui langkah simple, jadi walaupun sawo masak, kulit saya masih tetap mulus dan tidak jerawatan manalagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul pula sich jika disebut saya montok. Tidak tahu mengapa, walaupun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap juga tubuh saya bisa-bisa ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya telah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus cemas dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pun cepat karena sebab dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja jika ada yang kira demikian. Bingungnya, walau atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, kalaupun Simbok itu elok. Hingga sampai usia begitu juga beliau masih elok. cerpensex.com Ditambah lagi apabila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Seluruh orang nengok serta tidak saksikan apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa tidak baik lho jika tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia cuman saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum tonton kami menari kok seluruhnya katakan saya elok. Saya berpikir, ini mah pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertamanya didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, hingga sampai berbeda warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat makin tebal. Bibir pun diberi gincu warna merah keren. Saya kala itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita perlu membuat puas yang tonton."


Semakin lama saya biasa pun memanfaatkan dandanan begitu, justru saya bikin guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari tercipta penganten, bentar jika nikah betulan harus kayak apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi memang yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang mengetahui. 2 bulan kami ada di dekat Pasar, malapetaka tiba kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kritis. Saya kuatir, beberapa orang di sekeliling beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok gak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya mulai sejak ketabrak pula Simbok sudah tak ada angan-angan, namun entahlah mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Hingga sampai gak sampai hati saya memandangnya. Kala itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, karena itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Tetapi apa itu betul atau gak, saya tak mau tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit dan penyemayaman, justru perlu berutang kemanapun. Saya gak sanggup menyelenggarakan acara jenis-jenis buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana dan bertemu kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di sewa saja lantaran begitu bersusah-hati. Kemungkinan setiap hari saya menangis, bersedih ingat Simbok, pula kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, lantaran uang udah habis serta saya pun perlu temui banyak tukang tagih hutang yang tak mau tahu persoalan saya . Maka, satu minggu setelah Simbok disemayamkan, saya kembali persiapan untuk keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya agar tidak tampak beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya jadi bertemu dengan ibu yang punyai sewa. Sang ibu tidak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak punyai uang, jadi saya cuman dapat omong maaf, dan sang ibu justru ngancam secara lembut. Gak apapun gak bayar, tuturnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya ingin upaya dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG BAHENOL

Naasnya, hari itu pasar rada sepi, serta sehabis dua jam saya baru bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala sarat dengan ingatan, bagaimana triknya biar kelak kalaupun pulang sudah mempunyai cukup uang untuk bayar kontrak. Belum hutang-hutang yang lain. Mendekati siang, saya sedang jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya menyaksikan Juragan tengah hitung segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu cuman mengenal beliau selaku ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua dibanding Simbok, kemungkinan umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberikan kami uang tetapi beliau tidak. Namun beliau pernah pinjamkan uang terhadap Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri hampiri Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam serta berada di belakang. Tokonya lagi sepi, tidak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya mesti katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis buat cost penyemayaman Simbok… saat ini saya perlu bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya mengharap kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang baru saja ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu penting uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya dongkol namun tidak berani menunjukkan; kayaknya Juragan tak mau pinjamkan uang. "Hanya ngerinya saya tidak dapat dapat uang ini hari untuk bayar sewa. Bila berjualan, saya tidak mempunyai apapun, harus jual apa?"


Tetapi terus tatapan Juragan kok berganti jadi aneh… Beliau dekati saya dan memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu tidak miliki apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengayalkan apa tujuannya itu.


"Bila kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya perlu uang, namun apa perlu dengan semacam ini? Namun kalaupun gak, bagaimana kembali? Yang ada saya bakalan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama juga. Saya gak miliki opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga sampai gak terdengaran. Kalaupun saja gak ketutupan bedak, barangkali telah nampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi menyaksikani lantai, tak berani mengangkut kepala, tetapi adakalanya saya ngintip ke sana-kemari lihat situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memperlihatkan Juragan dengan orang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memonitor sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian katakan,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tuturnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, lihat uang itu. Besar sekali untuk saya. Kebanyakan sepanjang hari menari saya tidak sempat mendapat uang sekitar itu. Namun saya masih tetap sangsi. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Bila tidak mau ya udah," tukasnya dengan suara kurang suka.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, baru ini kali ada lelaki jujur ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu baru saja ditempatkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ucapnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awal mulanya saya dan Simbok perlu menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat mendapat uang kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh duit sekitar itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, serta kainnya melesat demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat beroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena mungkin barusan saya malu dan lamban satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya serta membuka kain batik saya. Saya seketika mundur, tetapi tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" tukasnya.


Juragan pun menggenggam paha saya masih yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, dan saya tambah deg-degan. Ia selalu remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya telah dikeluarkan dari kemasnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa mestinya saya lepas pula?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sekalian saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, namun tidak tahu mengapa, saya pun kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut jadi? Juragan tak henti menyaksikan sekujur badan saya, sembari memberi pujian.


"Mari donk, gak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya terlihat.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama